Mewaspadai Gempa

By Martias Oyonk on Wednesday, October 7, 2009

Waspada Gempa Berpotensi Tsunami … !!!

Gempa berskala besar akan merobohkan apa pun di muka bumi yang tak kukuh dan rapuh. Fenomena ini bukan hanya meruntuhkan bangunan, melainkan juga membuat tanah longsor, merekah, dan ambles. Di luar itu, gempa di pesisir juga berpotensi menimbulkan tsunami. Itulah serangkaian ancaman bagi penduduk di daerah rawan gempa.

Selama bumi berputar, pergerakan lempeng-lempeng bumi yang menutupi dan mengapung di atas magma tak akan pernah berhenti. Tumbukan antarlempeng atau kerak bumi inilah yang menyebabkan gempa terus terjadi silih berganti di sekujur tubuh bumi ini.

Ketika satu lokasi lapisan bebatuan di batas kerak bumi runtuh karena merapuh menahan desakan lempeng, bebatuan itu akan mencari posisi baru yang stabil. Selama proses ini berlangsung akan terjadi serangkaian gempa susulan, pascagempa utama. Hal ini dapat mengakibatkan bangunan yang retak dan rapuh akhirnya roboh.

Untuk kejadian gempa di Padang, 30 September, terjangan gempa bahkan mencapai ratusan kali sebelum kejadian itu. Sejak gempa di Nanggroe Aceh Darussalam, 26 Desember 2004, Padang dan sekitarnya sering diguncang gempa berskala 4 hingga 6 skala Richter. ”Jumlahnya mencapai ratusan,” kata Sujabar, petugas di Pusat Gempa Nasional Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika.

Guncangan dalam kurun waktu yang panjang secara perlahan telah melemahkan struktur bangunan yang tidak dirancang tahan gempa, antara lain ditunjukkan dengan keretakan tembok. Imbauan kepada masyarakat untuk melakukan perkuatan bangunan yang rentan terhadap gempa sudah dilakukan. ”Namun, sayangnya hal ini diabaikan karena mereka menganggap gempa besar belum pasti datang,” ujar Febrin A Ismail, Koordinator Tenaga Ahli Kelompok Siaga Tsunami (Kogami) Sumatera Barat.

Longsor dan ambles

Ancaman lain yang mengintai setelah gempa adalah tanah longsor dan ambles. Hal ini terjadi di daerah perbukitan karena berkurangnya tutupan lahan.

Berkurangnya areal hutan di kawasan lereng akan membuka potensi tererosi dan longsor ketika diguyur hujan. Kondisi ini diawali saat musim kemarau. Akibat paparan sinar matahari yang intensif, ikatan tanah permukaan yang ”telanjang” akan melemah dan merenggang.

Longsoran umumnya terjadi pada masa peralihan dari kemarau ke musim hujan, terutama di daerah berjenis tanah yang mudah lepas. Ketika terguyur hujan terus-menerus, ikatan yang melemah itu akan putus karena menanggung beban air di pori-porinya. Putusnya ikatan itu ditandai dengan longsoran tanah. Ancaman longsor menjadi makin besar ketika di lereng yang rapuh itu bertengger bangunan, apalagi ketika diguncang gempa.

Longsornya lereng di beberapa daerah di Sumatera Barat pascagempa, 30 September, antara lain terpicu oleh kondisi tersebut. Hal serupa juga terjadi di Cianjur, Jawa Barat, 2 September 2009.

Melihat kecenderungan merambahnya areal permukiman ke daerah perbukitan akibat meningkatnya populasi di daerah rawan gempa, pada masa-masa mendatang kejadian longsor saat gempa seperti di Cianjur dan Padang-Solok bakal terjadi pula di daerah lereng lainnya yang rawan gempa dan berpenduduk padat.

Selain longsor, amblesnya permukaan juga dapat terjadi di daerah yang diterjang gempa. Akibat gempa, sumber air di bawah tanah teraduk hingga terjadi likuifaksi atau pelembekan tanah. Tanah yang mengalami pembebanan tinggi dan berongga akan ambles.

Efek domino

Efek domino pun dapat terjadi pada segmen kegempaan dan patahan yang berdekatan dengan bebatuan yang runtuh yang menjadi sumber gempa. Kondisi itu antara lain terjadi pascagempa Padang yang keesokan harinya diikuti gempa Jambi, yang bersumber dari sesar Semangko.

”Saat ini segmen kegempaan Mentawai pun perlu mendapat perhatian setelah gempa Padang akhir bulan lalu,” kata Danny Hilman, pakar geologi dari Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Sebab, sumber gempa tersebut berada di tepi barat segmen Mentawai—disebut megathrust—yang terbentang dari Pulau Siberut hingga Pulau Pagai. Penelitian LIPI di Kepulauan Mentawai menunjukkan, tahun 1650 pernah terjadi gempa di atas 8 SR di Pulau Siberut. Tahun 1797 dan 1883 gempa berskala sama kembali muncul di daerah itu.

Kedua gempa—berdasarkan penelitian koral dan lapisan sedimen—menimbulkan tsunami di Padang setinggi 10 meter. Adapun pemodelan perambatan tsunami akibat gempa 8,7-8,9 SR pada 1797 dan 1833, yang dibuat pakar tsunami ITB, Hamzah Latief, gelombang akan sampai ke pantai Padang dalam waktu 30 menit dengan ketinggian hampir 5 meter.

Segmen Mentawai merupakan bagian dari sistem kegempaan di barat Sumatera yang terbagi dalam empat segmen utama (Simelue, Nias, Mentawai, Enggano). Sejak 10 tahun terakhir gempa di segmen-segmen ini ”bertalu-talu”.

”Munculnya gempa akhir September itu dapat mengusik segmen Mentawai yang tidur, hingga menimbulkan tsunami,” ujar Danny.

Gempa-gempa di kepulauan di barat Sumatera itu periode pengulangannya sekitar 200-300 tahun. Hal ini akibat efek penunjaman dari lempeng Indoaustralia yang menekan ujung lempeng Eurasia di bawah bagian barat sesar Semangko hingga ke kepulauan di pesisir Sumatera. Kecepatan desakan lempeng tersebut 6 hingga 7 sentimeter per tahun.

Bebatuan di ujung lempeng pada suatu waktu akan melenting karena tidak mampu lagi menahan tekanan itu. Hal ini ditandai dengan gempa besar, pergeseran posisi daratan di segmen itu, dan menjauhnya pulau dari daratan beberapa meter dari posisi semula. Pascagempa tahun 2004, kepulauan di pesisir Banda Aceh menjauh 1-3 meter.

Selain fenomena alam yang menyertai gempa besar, dampak lain adalah ancaman penyakit, kelangkaan pangan, serta trauma kejiwaan korban yang kehilangan harta dan keluarganya.

Karena itu, Danny mengingatkan semua pihak di Padang harus waspada dan melakukan antisipasi menghadapi perulangan gempa berpotensi tsunami.

Disalin dari : kompas.com


Komentar

Postingan Populer